Selasa, 01 Oktober 2013

Kill the DJ


Foto khas caleg :p
Sebuah minggu sore yang cerah di akhir September (2013), ketika saya dan kelompok tani muda di desa Kokosan, dua kilometer utara candi Prambanan, berduyun-duyun membelah sawah untuk menggelar upacara wiwitan. Juga hadir beberapa teman saya dari kota Yogyakarta yang ingin mengikuti upacara ini.
Wiwitan adalah ritual persembahan tradisional Jawa sebagai wujud terima kasih dan rasa syukur kepada bumi sebagai sedulur sikep dan Dewi Sri (dewi padi) yang telah menumbuhkan padi yang ditanam sebelum panen. Disebut sebagai ‘wiwitan’ karena arti ‘wiwit’ adalah ‘mulai’, jadi memulai memotong padi sebelum panen diselenggarakan.
Yang disebut bumi adalah sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan. Dalam tradisi Jawa, konsep meminta kepada sedulur sikep tidak ada atau tidak sopan, kepada sedulur sikep kita harus memberi sekaligus menerima, bukan meminta. Jika hormat kita berkurang kepada bumi, atau kita tidak menjaga kelestarian alam, maka bumi akan memberi balasan dengan situasi yang buruk yang disebut pagebluk, ditandai dengan hasil panen yang buruk, kekeringan, cuaca tak menentu, dll.
Sebuah budi pekerti dan nilai-nilai yang luhur dari akar tradisi Jawa –dan saya yakin berbagai tradisi Nusantara mempunyai nilai-nilai yang sama dalam hal ini, jauh sebelum manusia modern tergopoh-gopoh dengan istilah go-green di abad milennium ini.
Konon tradisi wiwitan ini sudah ada sejak sebelum agama-agama masuk ke tanah Jawa dan orang Jawa kuno hanya mengenal animisme, tapi bukankah Dewi Sri sebagai dewi padi berasal dari tradisi Hinduisme (India)? Entahlah, yang pasti petani Jawa kini semakin jarang melakukan upacara wiwitan karena alasan kepraktisan dan digeser, atau berbenturan, dengan nilai-nilai agama impor. Menurut Islam (Arab) memberi sedekah atau persembahan kepada ‘yang lain’ selain Allah SWT disebut ‘syirik’ dan hukumnya haram.
Meskipun saya sholat dan kadang ke masjid, minggu sore yang cerah itu saya bersepakat menggelar wiwitan bersama pemuda-pemuda yang ikut kelompok tani yang saya bentuk. Sesungguhnya, disamping mengajarkan budi pekerti dan nilai-nilai tradisi kepada kelompok tani muda kami, muatan romantisme sangatlah besar untuk mengenang masa kanak-kanak ketika kami sering mengikuti upacara wiwitan. Tak ayal itu menjadi pemandangan aneh karena wiwitan sudah jarang dilakukan di desa kami. Akhirnya, di minggu sore yang cerah itu, banyak juga petani yang sedang menggarap sawahnya ikut bergabung.
Prosesi Wiwitan
merangkai sesaji
Kami menyiapkan hidangan yang tidak akan dijumpai sehari-hari; sego tumpeng, sambel gepeng, gereh pethek, tontho, kacang gleyor santen, pitik ingkung. Juga kembang setaman, banyu kendhi dadap sirep, janur dikepang, dan kemenyan.
Semuanya sesungguhnya mempunyai makna. Seperti nasi ‘tumpeng’ yang artinya tumekaning penggayuh, atau keinginan yang diraih. Saya tidak mampu menerangkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kemudian kami membawa sesaji dan hidangan itu ke tengah sawah untuk mengadakan kenduri, artinya adalah kekendelan kang diudari, atau keberanian yang disampaikan. Setelah semua ubo rampe (kelengkapan) ditata sedemikian rupa ditengah-tengah sawah, kami membaca mantra sebagai berikut;
membaca mantra wiwitan
Amit pasang paliman tabik,
Ilo-ilo dino linepatno saking siku Gusti kang hakaryo bhawono
Danyang Sri Semara Bumi kang mbaureksi sabin … (nama sawah atau desa)
Mbok Dewi Sri pepitu, Kang lumpuh gendongen, kang wuto tuntunen, kulo aturi nglempak saklebeting sabin, ingak sampun kulo ancer-anceri sak pucuking blarak.
Sak sampunipun nglempak, kulo caosi daharan ngabekti; sekul petak gandha arum, gereh pethek sambel gepeng, untub-untub lan sak panunggalanipun. Gandeng anggen kulo titip wiji gugut sewu, wonten ing tegal kabenteran sampun wancinipun sepuh, badhe kulo boyong wonten soko domas bale kencono.
Kaki markukuhan, Nyai markukuhan, kukuhana kang dadi rejekiku. Nyai pakeh lan kaki Pakeh, akehono kang dadi rejekiku, yen ana kekurangane, tukuo neng pasar dieng, lan seksenono ing dino … (nama hari) minggu legi punika.
*sekarang kalian tahu kenapa saya pinter nulis lirik rap :p
menyiram air kendhi dadap sirep
Setelah membaca mantra, saya menyiram air kendhi yang dimasuki daun dari pohon dadap sirep sebagi simbol untuk menenangkan hati dan pikiran setelah sekian lama berjuang menumbuhkan padi. Rep kedhep dadap sirep. Juga menyebar beberapa makanan ke tengah sawah. Kemudian membungkus empat bungkusan hidangan yang akan ditaruh di empat sudut sawah, itu adalah simbol kiblat papat siji pancer; kakang kawah, adi ari-ari, getih, lan puser, kang nyawiji dadi siji.
Duh, kalau semua diterangin gak akan ada habisnya. Googling please untuk kiblat papat limo pancer ini :D
Setelah semua sudut selesai, saya memotong serumpun pohon padi kemudian dihias untuk dibawa pulang. Biasanya kemudian ditaruh diatas pintu. Tapi karena rumah saya masih di renovasi, rumpun padi itu aku taruh dipangkuan patung Budha yang terdapat di kamar mandi saya.
menyajikan hidangan yang langka
Terakhir, seharusnya saya melayani semua teman dan saudara tani yang hadir untuk bersantap, tapi karena saya terlalu males, maka semua yang hadir saya persilahkan untuk mengambil hidangan tersebut sendiri-sendiri.
Akhirnya kami bersuka-cita menikmati hidangan yang sudah puluhan tahun tidak kami nikmati tersebut. Pada bagian akhir, teman-teman dari kota membawakan beer dan kami bersendau gurau di sawah hingga maghrib tiba.
salam tani faaak yeah!!!
Sungguh sebuah minggu sore yang istimewa. Terima kasih untuk semua teman-teman yang hadir dan membantu terselenggaranya wiwitan ini.
Seminggu lagi saya panen; panggunggung ajining damen
Kill the DJ
Petani yang nyambi nge-rap di unit hip hop agraris; Jogja Hip Hop Foundation.  



Pisau Bermata Dua; Refleksi Tiga Tahun Lagu Jogja Istimewa


Jogja Hip Hop Foundation di Tugu - photo by @kristupa

Akhir 2010, isu Keistimewaan Yogyakarta yang hendak diubah Jakarta (baca: pemerintah pusat) sedang panas-panasnya, lagu Jogja Istimewa hadir mengiringi langkah-langkah yang gagah dan berani, menyatukan semangat, dan menjadi soundtrack bagi seluruh rakyat Yogyakarta dalam memperjuangkan keistimewaan itu. Makna kehadirannya semakin terasa istimewa karena lagu itu juga menjadi penyebar semangat bagi warga Yogyakarta untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana erupsi Merapi.
Pada sebuah kesempatan, saya pernah menyampaikan bahwa lagu tersebut bagai Pisau Bermata Dua, yang bisa menjadi dukungan atas perjuangan Yogyakarta, tapi sekaligus bisa menjadi pengingat atau kritik bagi seluruh warga, pamong praja, para pemimpin dan penguasa di Yogyakarta, jika dalam mengemban amanatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kearifan dalam lagu tersebut.
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan "Membedah Lirik Jogja Istimewa", "lagu tersebut 90% liriknya bersumber dari realitas sejarah yang saya tulis ulang, mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah tertanam sebagai tradisi dan identitas Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya harus dimaknai bukan hanya sebatas namanya yang kembali dikukuhkan sebagai Daerah Istimewa, tapi bagaimana kita memaknai keistimewaan tersebut dalam praktik kehidupan sebagai warga Yogyakarta tak terkecuali siapa pun orang itu, warga biasa, maupun seorang walikota, bahkan raja.
“Tanah yang melahirkan tahta, tahta untuk rakyat, di mana rajanya bercermin di kalbu rakyat, di sanalah singgahsana bermartabat, berdiri kokoh mengayomi rakyat”. saya menulis dengan merinding kutipan lirik tersebut, karena membaca sejarah Kraton Yogyakarta dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga reformasi yang selalu tercatat bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai kraton rakyat yang selalu mengayomi seperti nilai “memayu hayuning bhawana” yang diembannya. Seperti itulah seharusnya kekuasaan dalam berbagai level pemerintahan di Yogyakarta diemban.
Apakah saat ini Ngayogyokarto Hadiningrat dan berbagai institusi pemerintahan di Yogyakarta masih menjadi ‘kraton rakyat’ hingga sekarang? Semuanya kembali kepada akar rumput, warga biasa, di sanalah permasalahan-permasalahan riil secara gamblang terbaca, meskipun dalam sisi dan kasus yang sangat spesifik kita tetap boleh curiga kepentingan politis tertentu yang menggerakkan mereka. Apapun itu, persis seperti ketika perjuangan membela keistimewaan, saya adalah ‘kelas menengah ngehek’ yang berdiri dibalik wong cilik, akar rumput yang turun memenuhi jalan-jalan untuk mendukung keistimewaan pada waktu itu.
Ing Ngarso Sung Thulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani …
Saya, bersama teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation akan selalu lantang menyanyikan lagu Jogja Istimewa untuk mengingatkan nilai-nilai luhur yang tertulis dalam lirik tersebut. Karena hanya dengan keberanian dan kelapangan hati untuk bisa mengkritik diri sendiri agar menjadi lebih baik, maka kita pantas menyebut ‘tetap istimewa’.

Kill the DJ
Penulis lagu Jogja Istimewa kelahiran Klaten


Berikut saya posting sebuah single terbaru dari Jogja Hip Hop Foundation (JHF) berjudul Song of Sabdatama (2012), sebuah lagu dengan nafas dan semangat sama dengan Jogja Istimewa (2010) yang didedikasikan untuk seluruh warga Yogyakarta, soundtrack perjuangan dan persaudaraan, penyebar semangat untuk warga dalam memperjuangkan hak-haknya dan juga menjaga harmoni kehidupan yang bhineka.
Judul lagu ini mengambil dari Sabdatama (Sabda Utama) yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubhuwono X pada bulan Mei 2012 lalu, selaku raja Yogyakarta, untuk meneguhkan sikap terhadap kusutnya status keistimewaan Yogyakarta. Sabdatama kemudian juga dibaca oleh warga Yogyakarta sebagai simbol penolakan atas beberapa tindak kekerasan atas nama suku dan agama yang bermotif konspirasi politik yang terjadi di Yogyakarta beberapa bulan terakhir. Sebagai catatan; Sabdatama biasanya hanya dikeluarkan sekali oleh seorang raja, Sultan HBIX mengeluarkan Sabdatama ketika menyatakan begabungnya kraton Yogyakarta dengan Republik Indonesia.
Song of Sabdatama ditulis dalam tiga bahasa; Jawa, Indonesia dan Inggris, sebagai kabar kepada publik luar tentang tekad yang membara, berbeda dengan Jogja Istimewa yang lebih ditujukan ke dalam. Seperti banyak komentar terhadap lagu Jogja Istimewa, kebanggaan kadang bisa dilihat sebagai arogansi bagi mereka yang tidak mengenal akar permasalahannya.
Song of Sabdatama dirilis dalam dua versi, yang kedua versi kolaborasi dengan rapper Inggris, Akala (The Hip Hop Shakespeare), yang akan dirilis oleh British Council dalam rangka Seminar Bahasa Internasional pada bulan Juni 2012. Beberapa lagu dengan lirik tiga bahasa juga akan terus diproduksi JHF sebagai persiapan tour 10 kota di Amerika bulan November 2012.

Lyric Song of Sabdatama
Hook
We are from Jogja
The heart of Java
Our rhyme is mantra
Flows down like lava
We are from Jogja
The heart of Java
Our culture is weapon
Yeah, this Song of Sabdatama
Verse M2MX
Merapi ya iku, Keraton ya iku, Segara ya iku, Pancer ing Tugu
Mijil tuwuh saka kono dumunungku
Yo Ngayogyokarto Hadiningrat Negeriku
Nagari gemah ripah kang merdika
Kaya kang kaserat ing Sabdatama
Merapi ngelingake marang ing gusti
Segara ngelingake kudu ngidak bumi
Verse Balance
Ngono kuwi jiwa Jawi
Manunggaling kawula Gusti
mBalung sungsum pada diugemi
Minangka tekad dadi sesanti
Sadumuk bathuk sanyari bumi,
Ditohi pecahing dada luntaking ludira nganti pati
Negeri merdika bakal tak belani
Hook
Verse Kill the DJ
Merapi horeg, laut kidul gedeg
Angin ribut, udan bledek
Tanda bumi reresik nandang gawe
Marang donya lan manungsane
Marang sedulur sikep kudu ngajeni lan ngopeni
Bumi pertiwi adalah saudara kami
Yang harus dijaga dan dihormati
Menerima sekaligus memberi
Budaya adalah senjata
Memanusiakan manusia
Bangun jiwanya, Bangun raganya
Sentausa dalam puspa warna
Hook
Verse Ki Ageng Gantas & Radjapati
In our land where we stand
Never afraid coz we all friends
We may vary but hand in hand
Appreciate and understand
Why democracy if occupied by oligarchy?
Nggo opo demokrasi nek mung ngapusi?
Why religion if only to kill humanity?
Nggo apa agama nek mung mateni
Hey oxymoron, you don’t need to teach me
Rasah nggurui merga ora migunani
What Jogja want is harmony in diversity
Urip iku amrih nemu harmoni
We don’t care of what you say
Your ridiculous words will go away
Coz in this land where we stand
We’ll fight to the death until the end
Hook
Naskah Aseli Sabdatama:
 


Saya mendirikan Jogja Hip Hop Foundation (JHF) tahun 2003 dengan mimpi yang sederhana, membantu teman-teman raper berbahasa Jawa di Yogyakarta untuk lebih berkembang dan dikenal dalam konteks kesenian dan wacana yang pas, waktu itu saya masih bekerja sebagai perupa dan musisi electronic, tidak terbayang jika setahun kemudian akhirnya saya ikut nge-rap. Demikian juga ketika JHF yang awalnya adalah komunitas saat ini kemudian berkembang menjadi semacam kolektif group, band, atau crew dalam hip hop. Semua berjalan dengan natural. Apa yang kita capai sekarang adalah buah dari konsistensi pada jalur yang kita pilih; investasi komitmen dan integritas hampir satu dekade berkarya kolektif dalam jalur hip hop jawa.
Newyorkarto adalah konser restropeksi perjalanan kami, dari panggung-panggung kecil di kampung-kampung kota Jogja hingga ke panggung-panggung internasional yang prestisius dan menjadi group hip hop pertama dari Indonesia yang berkesampatan menggelar konsernya secara ekslusif di kota kelahiran hip hop; New York –yang kami sendiri sesungguhnya tidak pernah berani memimpikannya. Semua elemen baik musikal maupun artistik merepresentasikan background sosial dan cultural yang membentuk dan menginspirasi kami; gamelan, wayang, penari dll. Demikian juga orang-orang yang terlibat dalam konser Newyorkarto ini, mereka adalah teman setia yang menemani perjalanan kami selama ini. Sesungguhnya tradisi bukan sesuatu yang kaku layaknya post card pariwisata, tapi tradisi terus tumbuh dan bersinggungan dengan kekinian untuk membentuk dirinya.
Newyorkarto adalah nama yang kami temukan ketika kami hendak menggelar konser di New York. Undangan itu datang dengan alasan, bahwa energi dan spirit asli rap/hip hop ketika pertama kali muncul di New York, sesungguhnya bisa ditemui di kota Yogyakarta dalam bentuk yang lain. Kita akan mencoba menggelar sebuah dunia cerita bernama Newyorkarto layaknya cerita pewayangan dalam konser ini.
Akhirnya, saya dan teman-teman JHF mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk semua orang yang telibat dalam konser ini, kepada para sponsor dan donatur yang telah memungkinkan acara ini terwujud, dan tentu saja kehadiran teman-teman yang menonton konser ini.
Selamat menikmati.
Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ
Founder Jogja Hip Hop Foundation


Teman-teman,
Berikut kami release secara sederhana kumpulan lagu-lagu ‘konyol’, ‘jelek’ dan ‘goblok’ dari Kill the DJ dan Soimah Pancawati yang tidak akan direlease secara resmi. Dulu rencananya kita mau mengumpulkan lagu-lagu ini dalam sebuah album berjudul “Semiotika Pantura”, itu kenapa irama dan liriknya ‘menye-menye’ nggak jelas dan tidak boleh dikritik, baik kualitas rekamannya maupun liriknya. Yang ngritik berarti ngajak berantem!!! Hahaha.
Sesungguhnya karena kesibukan masing-masing yang semakin padat, akhirnya proyek ini terbengkalai. Anyway, karena kita menyikapi proyek ini dengan santai juga, dari pada tersimpan gak jelas, yowis, proyek ini kita gratiskan alakadarnya buat kamu-kamu yang males mengeluarkan duit buat karya-karya musik Indonesia dan hobinya mengkonsumsi bajakan.
Kumpulan Semiotika Pantura sebenarnya terdiri dari banyak lagu, umurnya lagu-lagu tersebut sebenarnya sudah lebih dari empat tahun, tapi yang sudah rekaman di rumah (belum ke studio) baru empat lagu sebagai berikut;
  1. A-A-AKU
  2. Balada Orgen Tunggal
  3. Cinta Mati Cinta
  4. Jangan Ada Anarki di Antara Kita

Suasana shooting Block Party Jogja Hip Hop Foundation oleh Intel Inside, dulu sering dinamakan Angkringan Hip Hop
Dibalik dunia yang semakin global, yang menggiring manusia pada selera yang cenderung seragam, sesungguhnya setiap orang mempunyai peluang masing-masing terhadap berbagai hal dalam hidupnya yang menjadikan dirinya unik, khas, otentik. Kesadaran akan potensi itulah yang paling penting, karena di sanalah peluang yang tersisa.
Namun kabanyakan orang tidak cukup sadar akan potensi itu. Sejak jaman nabi-nabi pun, ‘bagus’ saja tidak cukup, kita dituntut untuk mampu mengkomunikasikan dan membuktikan bahwa kita layak disebut ‘bagus’.
Selain kesenangan dan cinta yang menuntun kita pada ketekunan dan konsistensi untuk menghasilkan karya-karya terbaik yang paling mungkin kita bisa hasilkan, kesadaran akan apa yang kita kerjakan lah yang akan membuat kita mempunyai nilai lebih. Karena kesadaran akan memaksa kita untuk mencari alasan, yang akan membuat kita mampu menyampaikan nilai, komitmen, dan statement yang kita anut atau miliki.
Seorang seniman tanpa statement hanyalah orang trampil yang tidak mempunyai tanggung jawab artistik. Setelah itu, karya akan berbicara dengan sendirinya, karya adalah representasi diri kita, karya adalah proposal terbaik.
Namun ada variable lain, yaitu pilihan, seperti apa kita ingin menjadi dan seperti apa kita ingin dikenang. Ini bukan hanya seberapa besar uang yang bisa kita hasilkan dan seberapa terkenal kita, ‘sukses’ sesungguhnya sangat personal dan otentik, kita sendiri yang menentukan dan merumuskannya.
Ijinkan saya bercerita;
Sebelum pergi ke New York, bersama Jogja Hip Hop Foundation, saya mendapatkan tawaran iklan dua kali menggunakan lagu Jogja Istimewa. Namun tawaran itu kami tolak, alasannya lagu itu dibuat khusus untuk kami dedikasikan bagi seluruh masyarakat Yogyakarta, meskipun kami yang menulis lagunya, domainnya milik Yogyakarta. Tawaran semacam itu secara moral tidak bisa kami terima, kecuali menggunakan lagu baru khusus untuk iklan tersebut. Kami bukan anti iklan dan anti duit, bahkan manggung di kampanye Pilkada pun bisa kami lakukan. Sebulan setelah pulang dari New York, saya mendapat tawaran dari Intel Inside Corp untuk membuat feature yang bercerita tentang kehidupan saya sebagai seniman. Akhirnya saya melibatkan seluruh teman-teman Jogja Hip Hop Foundation dan menerima tawaran prestisius namun sopan ini.
Dari cerita ini, saya ingin menyampaikan sebuah kalimat yang sudah sering saya sampaikan; “setiap pilihan punya peluang dan resikonya masing-masing”.
Sebagai penutup, kembali saya mengutip judul buku Paul Arden; “It’s not how good you are, It’s how good you want to be”.
Salam
Kill the DJ


Ijinkan saya upload sebuah surat yang saya kirimkan ke teman-teman Maluku Hip Hop Community, yang ternyata kemudian dimuat di cover album Beta Maluku yang dilaunching bulan Mei 2011 kemarin. Berikut isi suratnya;
18 November 2010
Dear Maluku Hip Hop Community,
Nilai-nilai hip hop tidak penting lagi untuk dibicarakan, tapi apa yang bisa kita perbuat dengan hip hop untuk lingkungan sosial dan kebudayaan kita. Teruslah bekerja, lupakan negara, kita mulai dengan hal-hal kecil di sekitar kita.
Yang muda, yang rukun, yang membangun, dan kelak memetik hasilnya…
Maximum Respect!
Marzuki Mohammad a.k.a Kill the DJ


JHF Crew Hit Time Square NYC
Akhirnya mimpi itu terwujud juga. Prosesnya sangat berbelit, tidak gampang menghadirkan Jogja Hip Hop Foundation (JHF) ke New York.
Pertama, banyak masalah teknis sehingga pementasan ekslusif JHF di New York ini harus mundur hingga tiga kali sejak Desember 2010, kemudian Januari 2011, dan akhirnya terlaksana Mei 2011.
Kedua, bagaimana memberikan konteks yang tepat pementasan ekslusif ini kepada publik di New York, mengingat JHF menggunakan lirik dan musik hip hop yang berpijak pada akar tradisi Jawa.
Namun dengan komitmen yang tinggi dari Asia Society, sebuah institusi prestisius pertukaran seni dan budaya antara Asia – USA, akhirnya berhasil menghadirkan JHF di New York, sebuah group hip hop Indonesia pertama yang konser secara ekslusif di kota kelahiran musik hip hop.
New York bukanlah kota yang mudah untuk ditaklukkan. Namun New York juga kota yang sangat multikultur, dimana orang dari seluruh dunia ada di sana, dengan demikian New York bisa menerima dan menghargai perbedaan.
Rachel Cooper, sebagai direktur program seni pertunjukkan Asia Society, mengkonfirmasikan kepada saya seusai pentas;
“Awalnya saya sempat khawatir dengan publik Amerika yang skeptis terhadap program ini, Java Hip Hop? So what? Tapi setelah pertunjukan merasa lega, karena JHF sangat pandai mengikis perbedaan dengan komunikasi yang dibangun diatas panggung”.
Mendengar hal itu, saya kemudian melihat diri kami sendiri. Bagi kami, JHF adalah realitas, bukan sekedar produk yang diciptakan, kami selalu menikmati musik dan panggung dengan gairah yang penuh dan jujur. Kami selalu percaya, bahwa kejujuran akan membawa penonton masuk ke dalam jiwa pertunjukkan dan mengikis segala perbedaan, termasuk bahasa.
Seluruh penonton di auditorium itu menangkap energi yang kami berikan, hingga meninggalkan kursi dan berdiri untuk bergoyang mengikuti hentakan musik hip hop dalam bingkai mantra-mantra Jawa. Seni selalu bisa menjebatani perbedaan, membangun kesepahaman, memanggil jiwa manusia untuk saling berbincang dalam bahasanya sendiri.
Seperti halnya seniman tradisional yang agraris, kepada musik, kepada panggung, kami selalu percaya. Bukan kepada yang lain.
Seminggu di New York, adalah bingkai waktu yang spesial bagi kami, ini adalah kota dimana rap musik dan kultur hip hop lahir. Orang menyebutnya perjalanan ke New York adalah naik haji ala hip hop.
Seluruh crew JHF sangat senang bisa menghadiri block party di distrik Bronx, dimana rap musik lahir di sana, berfoto bersama legenda, dan menikmati attitude yang kasar khas distrik tersebut.
Selain itu kami juga menyempatkan diri membuat klip dengan mengambil lokasi di Time Square NYC, bernyanyi di tengah kerumunan dan mengundang perhatian publik. Kami benar-benar menguasai ruang publik itu. Sebuah komentar twitter saya pinjam untuk menggambarkan situasi ini;
“a Java Hip Hop Crew with Batik shirt, oversized pant, with no lots of jet leg, hit Time Square NYC”.
Pada dua hari terakhir, teman-teman berbelanja seperti orang gila. Membeli aneka cindera mata untuk orang-orang tersayang. Seolah tidak ada hari esok, seolah kami tidak akan bisa kembali lagi ke New York.
Namun oleh-oleh yang paling menggembirakan adalah proposal dari Center Stage US, sebuah program yang menawarkan proposal tour 10 kota untuk JHF tahun 2012.
Sepulang dari New York, kami merencanakan sebuah konser di tengah kampung dengan sound system seadanya, dari sana kami berasal.
Kill the DJ


Pagi ini, 14 Februari 2011, tepat di hari Valentine dan pengumuman Grammy Award, saya dikejutkan oleh seorang pegawai Kraton yang datang ke rumah dan mengantarkan surat penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Jogja Hip Hop Foundation atas penciptaan dan dipopulerkannya lagu Jogja Istimewa. Mewakili teman-teman Ki Jarot (Kill the DJ, Jahanam, Rotra), saya menyampaikan terima kasih setinggi-tingginya kepada Kraton Yogyakarta Hadiningrat atas apresiasi ini.
Penghargaan ini juga keunikan tersendiri bagi Kraton, dibalik kesan tradisional, mereka memberikan ruang apresiasi dan ekspresi untuk jenis musik hip-hop yang kami usung. Sesungguhnya, tradisi justru akan terus menemukan ruang eksistensinya ketika mampu bersinggungan dengan kekinian.
Menjadi sesuatu hal yang luar biasa ketika kami berada di atas panggung, dimana Raja dan Rakyat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, bersama menyanyikan lagu Jogja Istimewa. Kami haru dan bangga, bahwa lagu ini bisa menjadi lagu rakyat Yogyakarta dan telah dinyanyikan di berbagai acara besar dan bersejarah bagi rakyat Yogyakarta.
Semoga tujuan lagu Jogja Istimewa selamanya abadi, yaitu sebagai penyemangat sekaligus pengingat akan nilai-nilai kerakyatan.

Tembusan Surat:
1. Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengkubhuwono X
2. KGPH Hadiwinoto, Penghageng KHP Parasrayabudya Karaton
3. GBPH H Prabukusumo SPsy, Penghageng KHP Nityabudaya Karaton
4. Drs GBPH H Yudaningrat MM, Penghageng KHP Parwabudaya Karaton


Koran Merapi – Jumat Kliwon – 11 February 2011
Sekali-kali masuk Koran Merapi yang berisi berita-berita kriminal dan sejenisnya. Isinya diambil dari kronologi yang saya sampaikan di timeline twitter dengan hastag #bacok. Sang wartawan menelpon dan saya minta copy – paste dari timeline tersebut. Hehe
Kronologi:
1. Baiklah saya coba cerita kejadian tadi dgn hastag #bacok
2. Pada waktu konser dgn glen dkk 4 feb, di backstage aku diceritain soimah tentang bbrp kejadian pembacokan di daerah jogja selatan #bacok
3. Kata soimah pelakunya anak2 muda naik motor boncengan. Motifnya pemerasan. Aku waktu itu mendengarnya sambil lalu#bacok
4. Tdk mengira hari ini terjadi padaku jam19:30, tepat di jalan depan rumah, pas membuka pintu mobil, waktu akan berangkat interview. #bacok
5. Ketika sedang membuka pintu mobil, 2 orang boncengan motor menghampiriku, pura2 nanya arah alun2 utara, saya menunjukkan arahnya. #bacok
6. Tiba2 saya mendengar suara sajam dicabut dr arah belakang, pedang di sabetkan, seketika saya melompat ke depan. #bacok
7. Aku mengambil batu utk melawan, aku lempar gak kena, mereka lari memacu motor, aku ambil batu lagi dan melempar lagi. #bacok
8. Aku tidak sempat mengamati muka & plat nomor motornya. Setelah itu saya merasa punggung sakit. Ternyata sedikit kesabet.#bacok
9. Aku sempat menunggu 10mnt di lokasi. Pelaku tdk kembali. Kemudian kembali masuk rumah utk mengobati luka & ganti kaos yg robek. #bacok
10. Bersyukur lukanya sangat ringan. Kemudian aku pergi lagi utk janjian interview tadi. Tentunya aku datang terlambat. #bacok
11. Aku gak tahu motifnya apa, apakah ada hubungannya dgn cerita soimah tentang bbrp kejadian pembacokan di jogja selatan tadi? #bacok
12. Saat ini aku hanya percaya itu kriminal #biyasa. Demikian kronologi #bacok. Sekian.
13. Kejahatan bisa terjadi di mana saja, kapan saja, kpd siapa saja, setiap kota menyimpan kemungkinannya. tak terkecuali jogja.
14. Aku berbagi cerita #bacok yg aku alami agar kita waspada … Semoga ketentraman selalu terjaga di Jogja.
15. Oh, ya, TKP di Jl Langenarjan Kidul. Sebelah timur Plengkung Gading. #bacok
Waspadalah.. Waspadalah..
Sekian. Terima Kasih.


MEMBACA TAHTA UNTUK RAKYAT
sebuah kerinduan akan figure pemimpin
“ik ben een blijf in de allereerste plaats javaav”
“setinggi-tingginya aku belajar ilmu barat, aku adalah dan bagaimanapun jua tetap Jawa”.
(Sultan HB 9)
Tahta untuk Rakyat; celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah buku biografi pribadi Sultan HB 9, yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah. Sewaktu SMA saya pernah sedikit membaca buku terbitan Gramedia (1982) ini, kemudian pertengahan tahun 2010 saya kembali membaca buku ini, sebagai bagian dari proses untuk membuat lagu rakyat Jogja Istimewa tersebut.
Melalui buku ini, kita akan mengetahui cerita-cerita tentang pribadi Sultan HB 9 yang mungkin sebelumnya hanya kita anggap sebagai mitos. Tak pelak, buku ini semakin menambah kekagumanku kepada pribadi Sultan HB 9.
Pemuda yang Naik Tahta
Sultan HB 9 diberi nama ayahnya Sultan HB 8 dengan nama Dorodjatun, sejak kecil banyak dididik diluar istana, juga lebih banyak tinggal dengan ibunya yang tidak tinggal di istana Kraton. Dorodjatun pernah sekolah di Semarang dan Bandung. Kemudian dikirim untuk sekolah ke Belanda. Sepertinya ayahnya sudah mempunyai firasat, bahwa kelak Dorodjatun lah yang digadang bisa melepaskan kekuasaan Kraton dari cengkraman Belanda.
Ketika ayahnya sakit, Dorodjatun yang sebentar lagi ujian sarjana di Belanda, diminta untuk pulang oleh ayahnya untuk menerima pusaka keris Djoko Piturun, sebuah simbol bahwa Sultan HB 8 menyerahkan kekuasaan kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat kepada penerusnya yang dipilih. Waktu itu usia Dorodjatun masih 28 tahun.
Tidak lama kemudian Sultan HB 8 wafat, dan kemudian Dorodjatun diangkat sebagai Sultan HB 9 oleh gubernur jendral Belanda, waktu itu kekuasaan kraton masih dibawah cengkraman Belanda.
Hingga empat bulan paska naik tahta, jendral residen Belanda di Yogyakarta gagal membujuk Sultan HB 9 untuk menandatangani kontrak kekuasaan dengan Belanda. Banyak poin-poin yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan antara Kraton Yogya dengan Belanda ditolak oleh Sultan HB 9. Intinya adalah bahwa Sultan HB 9 berkeinginan Kraton Yogya lebih mandiri dan peduli dengan rakyat. Pemerintah Belanda dibuat frustasi dengan pemuda berumur 28 tahun itu, yang setahun sebelumnya hanyalah seorang mahasiswa.
Mahasiswa Barat yang Percaya Wangsit
Hingga suatu saat, dalam buku ini, Sri Sultan menceritakan bahwa beliau mendapat wangsit dari leluhur ketika dalam keadaaan antara tidur dan terjaga, kira-kira bunyinya seperti ini;
“wis tekno wae le, mengko bakal lungo dewe” (biarkan saja anakku, nanti (Belanda) akan pergi sendiri.
Kemudian Sultan HB 9 bergegas menandatangani poin-poin kontrak kekuasaan begitu saja tanpa peduli isinya. Gubernur Jendral Belanda bingung akan hal itu, kenapa dia ngotot negosiasi marathon selama lebih dari empat bulan tapi tiba-tiba dia begitu saja menandatangani tanpa membaca isinya.
Setahun kemudian, Jepang datang ke Indonesia dan mengusir Belanda.
Selama penjajahan Jepang, rakyat Indonesia sangat menderita dengan kerja paksa dan tanam paksa. Tapi berkat wangsit yang diakui ‘mungkin’ dari leluhur juga, rakyat Jogja bisa diringankan penderitaannya. Begini bunyi wangsitnya;
“umure mung sak umur jagung” (umurnya hanya seumur pohon jagung)
Umur pohon jagung bisa dipanen selama 3,5 bulan, kemudian pohon jagung akan mati dengan sendirinya ketika berumur 3,5 tahun. Kemudian dengan wangsit itu Sri Sultan HB 9 menyusun strategi. Dia mendatangi jendral Jepang yang berkuasa di Jakarta untuk bernegosiasi. Diterangkannya bahwa Kraton Yogyakarta memiliki wilayah yang kecil dan miskin, tidak memiliki hasil panen yang memadai, Sultan HB 9 meminta kepada penjajah Jepang untuk mengganti program kerja paksa (rhomusa) bagi rakyat Yogyakarta dengan membangun saluran irigasi Selokan Mataram, agar hasil bumi wilayah Yogyakarta meningkat dan bisa memberi sumbangan kepada Jepang lebih banyak.
Perjanjian disetujui dan proyek Selokan Mataram dimulai dan dikerjakan secara gotong-royong oleh rakyat Yogyakarta. Proyek itu belum selesai ketika Jepang kalah oleh pasukan sekutu dan harus pergi dari Indonesia, tepat 3,5 tahun sesuai umur pohon Jagung.
Wangsit yang lain berkaitan dengan tokoh pewayangan Pandawa Lima. Diceritakan bahwa Sultan HB 3 membuat tokoh wayang Pandawa 5 yang ukirannya sangat halus dan warnanya indah. Wayang itu ada beberapa yang hilang. Wangsitnya adalah, bahwa jika kelima wayang itu bisa berkumpul kembali, maka Negeri Mataram (Yogyakarta) akan merdeka.
Wayang ke 4 dengan tokoh Arjuna kembali ketika agresi militer Belanda pertama. Dikembalikan oleh seorang warga dari Ambarawa yang seluruh kampungnya hangus terbakar oleh bom pesawat Belanda dalam mengejar para pejuang. Anehnya hanya rumah warga itu yang masih utuh. Warga itu percaya bahwa wayang dari Kraton itulah yang menyelamatkan. Dikembalikan wayang itu ke Kraton, tidak lama kemudian Sultan dikarunia anak dan diberi nama Herjuno (Sultan HB 10 sekarang).
“Kalau diberi nama Arjuna persis, takut kalo ternyata ketika besar dia tidak ngganteng” canda Sultan HB 9. Arjuna adalah tokoh kstaria dalam pewayangan yang terkenal ketampanannya.
Wayang ke 5 dengan tokoh Bima kembali beberapa saat sebelum perwakilan Indonesia melakukan konferensi meja Bundar bersama PBB, yang hasilnya adalah keputusan PBB bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan Belanda harus angkat kaki dari wilayah Indonesia.
“Ternyata arti kemerdekaan itu bukan hanya untuk Mataram, tapi untuk Indonesia” kenang Sultan HB 9.
Jaman Revolusi Kemerdekaan
Setelah proklamasi 1945, Belanda kembali datang ke Indonedia dengan membonceng kapal tentara NICA (sekutu) untuk kembali berkuasa di Indonesia. Jakarta sebagai ibu kota Republik yang masih bayi kembali dikuasai Belanda. Tahun 1946, Sultan mengundang Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran kabinetnya untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta, sebagai negeri yang berdaulat dan diakui oleh kerajaan Belanda.
Rombongan dari Jakarta tiba di Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946. Dua hari kemudian Yogyakarta diserang Belanda. Secara pribadi Sultan HB 9 tidak kenal dengan Soekarno sebelumnya, itu adalah pertemuan pertama mereka yang sangat bersejarah. Kelak perpisahannya pun sangat bersejarah bagi Indonesia.
Sebelum kota Yogyakarta sepenuhnya jatuh ke tentara Belanda, Sultan HB 9 meminta pejuang di bawah pimpinan Jendral Soedirman untuk menyingkir dari kota dan bergerilya. Dan melakukan penyerangan-penyerangan sporadis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa TNI masih ada. Ketika Belanda sudah bisa menguasai wilayah kota Yogyakarta sepenuhnya, para pemimpin diasingkan, Sultan HB 9 diisolasi di dalam wilayah kraton saja, tidak boleh keluar. Tapi Sultan HB 9 sudah menyusun strategi bahwa setiap pejuang dan para pegawai pemerintahan boleh masuk ke dalam Kraton dengan menyamar menggunakan pakaian abdi dalem (pegawai kraton). Termasuk salah satunya adalah Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua RI.
Sultan HB 9 juga berhubungan dengan Sjahrir untuk membuat RIS (pemerintahan sementara) di Padang. Juga aktif menggalakkan siaran-siaran radio internasional untuk membuka mata dunia, bahwa pemerintahan dan tentara Indonesia masih ada, semua hal ini dilakukan agar Indonesia sebagai negara diakui eksistensinya.
Pada waktu itu, oleh pemerintah Belanda, Sultan HB 9 ditawari kekuasaan seluruh pulau Jawa dan Madura, dengan syarat Belanda tetap boleh menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sultan HB 9 waktu itu menolak. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya Indonesia jika saat itu Sultan HB 9 tergiur dengan penawaran itu.
Justru sebalinya, Sultan HB 9 sangat nasionalis, yang ada dipikirannya hanya berdirinya Indonesia yang merdeka. Maka beliau tidak segan menanggung seluruh biaya pemerintahan, termasuk gaji Soekarno-Hatta dan seluruh kabinetnya, juga operasional TNI, dan pengiriman-pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi Internasional. Sultan HB 9 tidak mengakui berapa uang yang telah dikeluarkan oleh Kraton untuk itu semua, Mohamad Hatta mengatakan lebih dari 5 juta gulden.
Kemudian oleh PBB, Indonesia dinyatakan menang di Konferensi Meja Bundar, dan PBB memerintahkan Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kemudian para pemimpin dan mentri-mentri kembali ke Yogyakarta dari pengasingan dan persembunyian. Soedirman dan pasukannya juga kembali ke kota, dan terjadilah proklamasi Indonesia yang kedua di Yogyakarta tahun 1949, ini cerita yang jarang diungkap.
Ketika Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran dan staff kabinet RI kembali pindah ke Jakarta pada 1949, Sultan HB 9 memberikan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta yang diharapkan bisa dijadikan modal membangun republik yang masih bayi tersebut. Pada saat upacara perpisahan dan memberikan cek itu, seorang raja Jawa, dalam pidato di muka umum, mengakui kemiskinannya seraya mengatakan bahwa, Yogyakarta tidak mempunyai apa-apa lagi. Beliau tidak mengatakan ‘saya’ atau ‘kraton’, tapi mengatakan ‘Yogyakarta’, sebuah cerminan ‘manunggaling kawula gusthi’ (bersatunya rakyat dan raja), penghargaan stinggi-tingginya terhadap rakyat jelata yang telah ikut berjuang.
Dalam suara yang bergetar dan uraian air mata, Soekarno berpidato pendek menanggapi hal tersebut; “Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu”
“Apa yang akan Terjadi dengan Republik jika tidak ada Hamengku Buwono IX?” judul artikel Mohammad Roem menerangkan peran Sultan HB 9 pada masa perjuangan kemerdekaan.
Cerita Rakyat
Untuk menutup pembacaan ini, saya akan menyampaikan cerita rakyat yang dulu, waktu saya SD, sangat popular. Sultan HB 9 selalu mengendarai mobilnya sendiri kemana pun ia pergi, seorang raja tanpa sopir dan pengawal. Bahkan dia memilih naik mobil untuk hilir mudik ke Jakarta ketika beliau menjabat sebagai mentri pertahanan dan mentri senior Republik Indonesia ketika presiden Soekarno berkuasa.
Suatu saat Sultan HB 9 pulang dari Kinahrejo, dusun Mbah Maridjan juru kunci Merapi, di tengah jalan, tepatnya di jalan Kaliurang, dia distop oleh ibu-ibu dengan beberapa karung dagangan yang akan pergi ke pasar Kranggan, utara Tugu, waktu itu angkutan masih sangat jarang. Sultan HB 9 pun menghentikan mobilnya, ikut membantu menaikkan barang-barang itu, kemudian dia mengantarkan ibu itu ke pasar Kranggan. Sesampainya di sana beliau ikut menurunkan dagangan. Orang-orang yang mengenal beliau sebagai raja takjub dengan pemandangan langka itu. Ketika beliau hendak pergi ibu yang menumpang tadi hendak membayar, tapi tentu saja Sultan HB 9 menolak dan pergi. Kemudian ibu itu ngomel-ngomel;
“dasar sopir aneh, mau dibayar tidak mau” begitu kira-kira.
Kemudian seorang polisi memberi tahu ibu itu, bahwa sopir tadi adalah Sultan HB 9, Raja Yogyakarta, mendadak ibu itu pingsan.
Begitulah, kita merindukan pemimpin seperti pribadi Sultan HB 9, yang sangat nasionalis, kerakyatan, tanpa meninggalkan identitas dan tradisi kebudayaannya.
Kill the DJ


Kill the DJ - Jahanam - Rotra, berfoto bersama setelah pentas di pagelaran Kraton Yogyakarta
Sejak diluncurkan secara resmi 9 November 2009, lagu Jogja Istimewa telah menjadi lagu rakyat Yogyakarta, diputar di rumah-rumah penduduk di pedesaan hingga di toko-toko tengah kota, menjadi hot request di radio-radio Jogja, menjelma sebagai soundtrack bagi kehidupan warga Jogja yang mencintai akar tradisi dan kebudyaannya, dan penyemangat perjuangan atas hak-hak mereka sebagai warga Jogja.
Lagu Jogja Istimewa juga hadir di acara-acara besar, mulai dari sidang rakyat Yogyakarta yang menentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta oleh Pemerintah Pusat, 13 Desember 2010, hingga acara peringatan berpindahnya ibu kota Republik Indonesia, 4 Januari 2011 kemarin. Kawulo alit hingga raja bergoyang dan melambaikan tangan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, bernyanyi bersama lagu Jogja Istimewa dalam hentakan irama march hip hop dengan groove tradisional yang terinspirasi marching band prajurit kraton itu.
Sungguh, kami Ki Jarot (Kill the DJ, Jahanam, Rotra) yang tergabung dalam Jogja Hip Hop Foundation, merasa sangat berbangga dan haru lagu tersebut telah bisa menjadi lagu rakyat Yogyakarta.
Namun sesungguhnya sedikit yang tahu, bagaimana lagu tersebut tercipta, terutama dari mana liriknya bersumber, meskipun sudah ada beberapa pemberitaan di media masa yang sudah menyampaikan sumber lirik lagu Jogja Istimewa tersebut. Melalui tulisan ini, saya akan menjelaskan secara rinci tentang bait demi bait. Sungguh menjadi kepentingan kami agar publik bisa membaca pemikiran dibalik lagu.
Membaca Sejarah
Pertengahan tahun 2010, saya menghabiskan tiga buku dalam waktu dua minggu;
1. Tahta untuk Rakyat
Biografi tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Sultan HB 9). Perjuangan untuk mendapatkan buku ini lebih dari tiga minggu, karena sudah tidak ada lagi cetakan baru, saya mendapatkannya di salah satu kios buku bekas di Shoping, Beringharjo, dengan harga Rp.150.000,-. Waktu SMA sebenarnya saya pernah membaca sekilas tentang buku ini, tapi mungkin waktu itu saya masih terlalu hijau untuk memahami isinya.
2. Kraton Yogyakarta; Sejarah, Nasionalisme, dan Teladan Perjuangan
Meskipun sangat berpihak pada kraton, buku ini unik karena banyak syair-syair tradisional yang menerangkan setiap peristiwa dengan otentik. Buku ini gampang didapatkan di toko-toko buku.
3. Perubahan Sosial di Yogyakarta
Sebuah buku yang dinobatkan sebagai babon antropologi sosial. Buku ini adalah desertasi Selo Sumardjan, mantan ajudan Sultan HB 9 semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian menjadi guru besar antropologi Universitas Indonesia. Sebuah buku yang juga susah untuk didapatkan.
Buku biografi Sultan HB 9 Tahta untuk Rakyat yang paling berkesan, buku ini menerangkan secara gamblang kepribadian Sultan HB 9 yang mungkin sebelumnya hanya seperti cerita rakyat. Sebagai buku, tahta untuk rakyat berhasil menambah kekaguman dan hormatku terhadap pribadi Sultan HB 9, baik sebagai raja maupun manusia biasa.
Melalui ketiga buku diatas, saya menemukan banyak kalimat dari para tokoh perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang memberikan testimoni tentang Yogyakarta dan pribadi Sultan HB 9.
Lirik dalam Rima
Sesungguhnya, 70% lirik dalam Jogja Istimewa mengambil kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh seperti; Soekarno, Sultan HB 9, Ki Hadjar Dewantoro, RM Sosrokartono, dll. Selebihnya adalah hasil tulisan saya sendiri, meskipun harus saya akui, bahwa saya sangat terinspirasi oleh teks-teks tradisional Jawa. Saya merubah teks-teks itu ke dalam rima agar lebih enak di-rap-kan.
Mari kita telaah bait demi bait;
“Holopis Kuntul Baris…”
:: Ungkapan tradisional Jawa, sebuah ajakan untuk bekerja bersama-sama
“Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Istimewa Negrinya, Istimewa Orangnya
Jogja! Jogja! Tetap Istimewa
Jogja Istimewa untuk Indonesia”
:: Diucapkan Soekarno untuk memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap kraton dan rakyat Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan
“Rungokna iki gatra saka ngayogyakarta
Nagari paling penak rasane koyo swarga
Ora peduli donya dadi neraka
Neng kene tansah edi peni lan merdika”
:: 100% saya menulisnya sendiri, teks ini juga digunakan untuk lagu Dubyouth feat. Ki Jarot Bombassu. Artinya; “dengarlah ini untaian kata dari Yogyakarta, Negeri paling nyaman seperti surga, tidak peduli dunia sudah jadi neraka, di sini kami selalu nyaman dan merdeka”
“Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk Rakyat
Dimana Rajanya Bercermin di kalbu Rakyat
Demikianlah singgasana bermartabat
Berdiri kokoh tuk mengayomi rakyat”
:: Semangat tahta Sultan HB 9 yang kemudian ditambahi oleh anaknya Sultan HB 10 dalam jumenengan (diangkat menjadi raja)
“Memayu hayuning bawana”
:: Visi Kraton Yogyakarta yang dicangangkan oleh HB I, artinya; membuat bumi menjadi indah, atau dalam Islam; Islam rahmatal lil alamin
“Saka jaman perjuangan nganthi mardhika
Jogja istimewa bukan hanya daerahnya
Tapi juga karena orang-orangnya”
:: Kembali merujuk ungkapan Soekarno
“Tambur wis ditabuh suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng para prajurit lan senopati
Mukti utawa mati manunggal kawula Gusti”
:: Saya tulis sendiri, namun terpengaruh oleh teks-teks macapat tradisional kraton. Artinya seperti ini; “Tambur telah ditabuh, seruling sudah berbunyi, Bersatu padu menjadi satu, Bersama prajurit dan senopati, Mulia atau mati rakyat dan raja adalah satu”
“Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan”
:: Teks aslinya seperti ini: “Nlgurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sugih tanpa raja brana, sekti tanpa aji” ditulis oleh RM Sosrokartono menggambarkan pribadi Sultan HB 9
“Tenang bagai ombak gemuruh laksana Merapi”
:: Teks dari puisi WS Rendra
“Tradisi hidup di tengah modernisasi
Rakyate jajah deso milang kori
Nyebarake seni lan budi pekerti”
:: 100% saya tulis sendiri dengan mengambil pepatah Jawa; “Jajah desa milangkori” yang artinya berkelana kemana-mana.
“Elingo sabdane Sri Sultan Hamengkubuwono kaping sanga
Sak duwur-duwure sinau kudune dewe tetep wong Jawa
Diumpamakne kacang kang ora ninggal lanjaran
Marang bumi sing nglahirake dewe tansah kelingan”
:: Salah satu ungkapan yang sangat saya kagumi dari Sultan HB 9: “ik ben een blijf in de allereerste plaats javaav”, dalam bahasa Indonesia Sultan HB 9 menerangkan seperti ini; “setinggi-tingginya aku belajar ilmu barat, aku adalah dan bagaimanapun jua tetap Jawa”.
“Ing ngarso sung tuladha
Ing madya mangun karsa
Tut wuri handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji”
:: Inilah konsepsi social movement Jawa yang dipopulerkan oleh bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara; “yang di depan meberi contoh, yang di tengah memberi dorongan, yang di belakang memberi semangat, jika inging mulia harus dengan usaha”
“Sepi ing pamrih rame ing nggawe”
:: Ungkapan Jawa untuk “perjuangan tak kenal pamrih, tapi bekerja secara nyata”
“Sejarah wus mbuktekake
Jogja istimewa bukan hanya untuk dirinya
Jogja istimewa untuk Indonesia”
:: kembali merujuk ungkapan Soekarno “sejarah sudah membuktikan”.
Dengan lirik semacam ini, saya hanya mencoba mengaktualisasikan sejarah, mengingatkan siapapun yang mendengar, sebagai pembela sekaligus kritik bagi warga Jogja, termasuk mengingatkan semangat dan nilai-nilai yang telah ditanamkan Kraton pada masa perjuangan kemerdekaan.
Demikian, semoga bisa dipahami bagi yang bisa berbahasa Jawa maupun tidak.
Kill the DJ


Foto ketika saya menggambar graffiti terakhir tahun 2005
“saya bosan membicarakan perihal hip-hop, tapi saya tertarik dengan apa yang bisa kita kerjakan dengan hip hop”
Kalimat diatas pertama kali saya tulis tahun 2004, ketika bikin newsletter yang saya sebarkan di acara It’s Hip Hop Reunion, tepat setahun setelah saya mendirikan Jogja Hip Hop Foundation, dan itu mendasari semua pemikiran dan aktivitas saya dalam dunia hip hop di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia.
Sebuah mimpi yang terlintas di benak saya ketika pertama kali mendirikan Jogja Hip Hop Foundation 2003, adalah bagaimana membantu aktivitas rapper-rapper berbahasa Jawa, mencoba membuka pikiran dan wawasan komunitas ini lebih luas, untuk semakin sadar tentang pilihan dan resiko, sekaligus benefit yang bisa diraih.
Saya jarang sekali ngobrol langsung tentang pemikiran-pemikiran ini dengan teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation, tapi memilih menghadirkan pengalaman langsung dengan peristiwa-peristiwa kecil yang saya bangun. Puncaknya melalui acara Poetry Battle (2006 s/d 2009), teman-teman crew hip hop yang berdomisili di Jogja bersinggungan langsung dengan para penyair, seniman, dan budayawan. Hal-hal yang tentu saja jauh dari pemikiran mereka sebelumnya. Saya yakin, hanya dengan cara ini maka proses membuka pikiran dan wawasan terjadi dengan alami.
Poetry Battle adalah kampanye kecil tentang ‘cinta’ kepada ‘yang lain’. Sebuah usaha untuk menghargai perbedaan. Sesuatu yang akhir-akhir ini terasa berat untuk didiskusikan di negeri Bhineka Tunggal Ika.
Saya akan mengutip perbincangan Iqbal, seorang rapper asal Ambon yang sempat berdomisili di Jogja dan terlibat dalam proses Poetry Battle, sebauh kalimat mengharukan yang juga kami tampilkan dalam film documenter Hiphopdiningrat;
“Saya punya pengalaman getir perang antar agama di Ambon, ketika terlibat di Poetry Battle harus mengerjakan lirik puisi dari Hersri Setiawan yang berbicara tentang ‘perbedaan’, itu menjadi sangat bermakna, kita harus semakin bisa menghargai perbedaan-perbedaan”
Atau dari Balance dan M2MX (Jahanam);
“mungkin kami tidak begitu paham dengan bahasa-bahasa puisi, apalagi disitu ada beberapa mantra kuno, tapi setelah dikerjakan dengan hip hop, kami bisa memahami energi kata-kata itu”
Dua kutipan tersebut menggambarkan bagaimana peristiwa dan pengalaman akan berdampak lebih efektif dari pada jargon besar. Saya memang tidak suka jargon besar, saya selalu ingin terlibat dengan urusan-urusan kecil yang secara langsung berdampak efektif buat lingkungan (habitat) saya. Seandainya saya hanya bisa mempengaruhi 10 orang dari 100 orang yang terlibat secara langsung dengan Poetry Battle, maka saya akan menilai peran saya cukup berhasil.
Saya selalu menikmati dunia kecil yang saya cintai dan dirawat untuk tumbuh.
Tentang pilihan-pilihan ngerap dengan bahasa dan music Jawa itu pun akhirnya terjelaskan dengan sendirinya melalui proses. Bahwa setiap pilihan mempunyai batasan dan resikonya masing-masing, itu sangat saya sadari, tapi mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh teman-teman yang lain di Jogja Hip Hop Foundation. Peran saya adalah menghadirkan peristiwa secara langsung dan strategi yang secara efektif akan membuka mata dunia tentang diri kita dan apa yang bisa kita kerjakan. Semuanya dengan proses yang sangat alami seperti Poetry Battle. Pilihan membuat film documenter Hiphopdiningrat, yang secara budget jauh lebih mahal dari pada video klip, juga bagian dari strategi itu. Film tersebut sekarang telah menjadi juru bicara yang paling efektif di dunia internasional, yang bisa menjelaskan siapa diri kita; sekelompok anak-anak nakal yang ngerap dengan bahasa Jawa.
Berkat film itu pula, sekarang undangan untuk pentas di luar negeri mulai berdatangan, dan akan semakin sering berdatangan. Tentu saya sangat berpikir tentang dunia internasional, karena saya sangat sadar sedari awal, bahwa dengan pilihan bahasa Jawa, anda akan sulit diterima di pasar atau industri musik Indonesia. Sesuatu yang bisa diraih oleh hip hop berbahasa Jawa namun akan sangat sulit diraih oleh rapper berbahasa Indonesia.
Dengan berbagai peristiwa tersebut, teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation semakin paham, dimana seharusnya mereka berdiri dan bersikap.
Hari ini saya menengok kebelakang, melihat semua peritiwa-peristiwa, suka dan duka, selama 7 tahun perjalanan Jogja Hip Hop Foundation, dan melihat dimana sekarang saya dan teman-teman berdiri. Itu seperti mimpi saya sejak pertama kali berdiri, saya selalu mencoba membunuh arogansi dan nilai-nilai hip hop itu sendiri, juga ingin selalu dekat dengan lingkungan sosial dimana kami tumbuh. Sekarang setiap kami tampil dimanapun di Jogja, baik di kampung kumuh maupun di club, selalu dipenuhi ribuan penonton yang semuanya hafal lagu-lagu kami, meskipun diumumkan hanya dengan satu status facebook dan twitter. Pentas hip hop seperti pentas kesenian rakyat, semuanya begitu akrab, nyawiji siji mukti utawa mati (bersatu padu hidup atau mati).
Kill the DJ

Hip Hop Jawa Juga Istimewa
Lahir dari jalanan, musik hip hop berbahasa Jawa terus berkembang. Saat ini, jenis musik itu menjadi bagian keistimewaan Yogyakarta. Lagu mereka, ”Jogja Istimewa” berkumandang di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta untuk meneguhkan dukungan terhadap keistimewaan Yogyakarta.
Holobis kuntul baris, Jogja tetap istimewa. Istimewa negerinya, istimewa orangnya. Jogja istimewa untuk Indonesia,” demikian syair pembuka ”Jogja Istimewa” mengumandang dari panggung di depan Gedung DPRD DIY, Senin lalu.
Lagu rap itu dinyanyikan kelompok musik hip hop Jawa Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation) untuk mendorong DPRD DIY mendukung penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Senin siang itu, ”Jogja Istimewa” mengalun di radio-radio di Yogyakarta. Lagu itu dinilai pas mewakili perasaan warga Yogyakarta di tengah polemik pemilihan-penetapan kepala daerah DIY.
Meski dinyanyikan selengekan, lagu itu mengandung filosofi kuat. Sepenggal liriknya, ”Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, kesaktian tanpa ajian, kekayaan tanpa kemewahan,”. Lirik itu ajaran kerendahhatian.
Ki Jarot adalah kelompok musik gabungan penyanyi hip hop Jawa Marzuki Mohammad alias Kill The DJ alias Chebolang, Jahanam, dan Rotra. Mereka konsisten menyanyikan lagu rap dengan lirik berbahasa Jawa. Mereka mempertemukan musik afro-amerika dengan tradisi Jawa. Lagu Jahanam berjudul ”Tumini” sempat diputar berulang di televisi nasional.
”Hiphopdiningrat”
Perjalanan komunitas direkam pada film dokumenter ”Hiphopdiningrat”. Film berbahasa Jawa itu diputar pertama pada Festival Film Dokumenter (FFD) 2010, pekan lalu.
Film karya Marzuki dan Chandra Hutagaol tersebut merupakan kumpulan dokumentasi kegiatan komunitas Jogja Hip Hop Foundation 2003-2009. Isinya, perjalanan komunitas anak muda Yogyakarta yang bertahan dengan identitas ndesonya di tengah kuatnya pengaruh budaya Barat.
Hip hop bahasa Jawa muncul tahun 90-an dengan salah satu pentolannya, G-Stripe. Tahun 2003, Marzuki membentuk komunitas Jogja Hip Hop Foundation mewadahi kelompok musik hip hop Jawa itu. Ia menggandeng sinden terkenal Soimah, mempertebal sentuhan tradisi Jawa pada lagu-lagu mereka.
Saat menyanyi, gaya mereka khas penyanyi rap. Kacamata hitam, sepatu kets, dan topi terbalik. Namun, mereka selalu berbaju batik sebagai identitas. Musik hip hop itu pun sarat petuah dan filosofi Jawa. Bukan sumpah serapah.
Komunitas mereka khas. Sebagian besar anggota komunitas datang dari perkampungan dan teman nongkrong di jalanan. Lahirnya hip hop Jawa pun alami dan sederhana. ”Tak ada tendensi apa-apa saat menyanyi hip hop Jawa ini. Hanya ingin ngerap, tapi dengan bahasa yang kami kenal sehari-hari, bahasa Jawa,” kata Marzuki.
Poetry Battle
Eksistensi hip hop Jawa ditandai hajatan Poetry Battle (2006 dan 2009) yang diadakan Jogja Hip Hop Foundation. Peserta ditantang menyanyikan puisi-puisi Indonesia dalam musik rap. Kegiatan itu menggerakkan generasi muda menggeluti puisi-puisi yang lama terasing dari publiknya sendiri.
”Ini luar biasa, anak-anak muda ini berpuisi, menggali sastra yang lama terasing dari masyarakatnya sendiri, tanpa mereka sendiri menyadarinya,” kata Landung Simatupang, budayawan yang juga narasumber film ”Hiphopdiningrat”.
Lalu, lahirlah lagu ”Ngelmu Pring” yang liriknya diambil dari puisi Sindhunata. Bait-bait Serat Chentini pun lahir kembali.
Kini, pengaruh komunitas hip hop Jawa itu berkembang. Anggotanya dari anak SD sampai anak kuliahan. Tak sedikit dari kalangan tak mampu.
Muhammad Setiawan (15), anggota kelompok musik hip hop di Kampung Sayidan, mengatakan, di kampungnya ada dua kelompok beranggota belasan orang. ”Kami pada mulanya teman nongkrong, akhirnya jadi kelompok rap karena suka,” kata anak pedagang gorengan itu.
Di kancah internasional, hip hop Jawa kian dikenal. Pada 2009, Ki Jarot tampil di Singapura. Januari 2011, ia diundang tampil di Amerika Serikat.
Menurut budayawan Sindhunata, fenomena hip hop bahasa Jawa ini wujud kerinduan generasi muda kembali ke akar budayanya.
”Selama ini ada kekosongan di sini. Hip hop Jawa merupakan cara anak-anak muda menjawab kekosongan ini,” katanya.
Penulis dan peneliti budaya Elizabeth Inandiak mengatakan, komunitas itu salah satu keistimewaan Yogyakarta. Dari komunitas anak-anak muda, hip hop Jawa menyatukan Yogyakarta dalam Jogja Istimewa.

Rakyat Sudah Menabuh Tambur…
Tambur wis ditabuh, suling wis muni. Holopis kuntul baris, ayo dadi siji. Bareng para prajurit lan senopati. Mukti utawa mati manunggal kawula Gusti. Menyerang tanpa pasukan. Menang tanpa merendahkan. Kesaktian tanpa ajian. Kekayaan tanpa kemewahan. Tenang bagai ombak. Gemuruh laksana Merapi.” (Jogja Istimewa)
Syair lagu itu dinyanyikan Marzuki Mohammad alias Kill the DJ di panggung menghadap ribuan warga DI Yogyakarta di halaman Gedung DPRD DIY, Senin (13/12/2010). Semua kemudian ikut bergoyang dan bernyanyi dengan beragam gaya meskipun musik hip-hop yang dibawakan. Tampilnya kelompok mahasiswa Papua menambah semarak bunyi-bunyian.
Setelah itu yel-yel meminta penetapan bergema diteriakkan ribuan warga saat satu per satu orator tampil. Warga tidak hanya memadati halaman Gedung DPRD DIY, tetapi juga meluber memadati Jalan Malioboro, Yogyakarta, hingga Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Jumlahnya mencapai puluhan ribu.
Jalan yang menjadi ikon pariwisata Yogyakarta itu ditutup untuk arus kendaraan bermotor. Toko-toko dan kaki lima tutup. Pasar Beringharjo sepi karena para pedagang ikut berunjuk rasa dengan sukarela. Warga lain datang berduyun-duyun dari berbagai pelosok, seperti Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Berbagai elemen masyarakat, seperti siswa SMA, tukang becak, petani, perias salon, dukuh, buruh, kepala desa, perangkat desa, veteran perang, seniman, dan mahasiswa, datang dengan satu sikap dan tekad mendukung penetapan. ”Antusiasme warga ini dari kesadaran mereka sendiri untuk mempertahankan keistimewaan DIY,” ungkap Sunyoto, Ketua Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja). Puluhan ribu warga datang untuk menyaksikan Rapat Paripurna DPRD DIY dengan agenda penentuan sikap politik DPRD DIY tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam RUU Keistimewaan DIY.
Ikhlas memberi
Warga tak segan mengeluarkan uang, bahkan mau kehilangan pendapatannya, demi penetapan. Tidak ada yang mengomando, toko, warung, salon, bahkan Pasar Beringharjo—pasar terbesar di Yogyakarta—tutup selama aksi massa. ”Duit setiap hari bisa dicari, tetapi ini tidak terjadi setiap hari,” ungkap Yasri, pemilik Salon Yasri.
Massa mulai berdatangan ke Gedung DPRD DIY sejak pukul 11.00, diawali ratusan siswa kelas I-III SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Mereka berjalan kaki sekitar 4 kilometer ke Gedung DPRD DIY. ”Kami menolak pemilihan. Pemilihan itu hanya menghabiskan anggaran saja dan rawan konflik sosial,” ungkap Eduardus, siswa kelas III SMA Kolese De Britto.
Marwan (46), tukang becak, warga Sedayu, Bantul, juga ikhlas tidak menarik becaknya demi Sultan dan Paku Alam. Hari itu ia tidak membawa pulang uang Rp 20.000-Rp 50.000 karena ikut warga lain menyerukan penetapan. ”Yogya itu istimewa bila gubernurnya Sultan dan wakilnya Paku Alam.”
Dukungan keistimewaan juga datang dari mahasiswa Papua dan Nusa Tenggara Timur yang belajar di berbagai perguruan tinggi di DIY. Mereka memakai pakaian tradisional lengkap. ”Pemerintah pusat jangan sentralistik, ini era demokrasi, dengarkan aspirasi rakyat Yogyakarta,” ungkap Holand Abago, mahasiswa asal Papua.
Mantan Ketua DPD Partai Demokrat DIY, yang juga adik Sultan Hamengku Buwono X, tampil berorasi. GBPH Prabukusumo minta jangan ada perbuatan anarki. Aksi dijaga 1.800 polisi gabungan Polda DIY. Atas nama Keraton, Prabukusumo berterima kasih kepada warga DIY karena dukungan pada penetapan. Prabu dielu-elukan karena memilih mundur dari Partai Demokrat DIY.
Kerabat Puro Paku Alaman, Kanjeng Pangeran Haryo Indro Kusumo, mengungkapkan, Paku Alaman dan Keraton Yogyakarta tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, dwitunggal Yogya, Sultan dan Paku Alam, harus tetap utuh memimpin DIY.
Aksi massa itu pun memunculkan simpati warga yang menyumbangkan air minuman kemasan dan roti. Sebuah perusahaan tas lokal mengirimkan 50 dus air mineral kemasan dan 2 keranjang besar berisi roti yang dikemas dalam plastik untuk dibagikan kepada warga.
Pemilik toko di Jalan Malioboro pun ikut membagikan air mineral bagi pengunjuk rasa. ”Ini bagian dari dukungan kami,” ujar anak pemilik toko di Jalan Malioboro.
Untuk menyukseskan gawe, pawang hujan dilibatkan. Ketua Paguyuban Dukuh DIY Sukiman mengaku meminta bantuan pawang hujan. Ini agar dukungan warga tidak bubar diguyur hujan. Meski sejak pagi langit Kota Yogyakarta mendung, setetes air hujan pun tak jatuh. Padahal, sejak beberapa hari terakhir hujan deras selalu mengguyur Yogyakarta. Rapat Paripurna DPRD DIY secara bulat mendukung penetapan. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang meninggalkan ruang rapat sebelum keputusan bulat diambil.
Vox populi, Vox dei. Suara itu sangat nyaring, keras namun tetap tidak kehilangan kemerduannya. Suara itu begitu syahdu, namun tetap tidak kehilangan kegagahannya. Rakyat Yogyakarta dengan tegas menyatakan, untuk gubernur wakil gubernur tidak ada opsi lainnya, kecuali penetapan,” kata Totok Hedi, juru bicara Fraksi PDI-P.
Rapat Paripurna DPRD DIY yang dihadiri puluhan ribu orang itu berakhir damai meski sangat marah kepada pemerintah pusat. Kepala Kepolisian Kota Besar Yogyakarta AKBP Atang Heradi masih tersenyum hingga unjuk rasa selesai. ”Tidak ada sejarah aksi di Yogyakarta anarkis,” ujarnya.

Hip Hop untuk Kebangsaan
Tak sekadar berpawai dan berorasi, unjuk rasa dukungan terhadap penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta kali ini kental dengan simbol perlawanan rakyat. Demi menarik perhatian pemerintah pusat, bendera Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat pun dikibarkan. Secara spontan, lagu hip hop bertajuk ”Jogja Istimewa” didaulat sebagai lagu kebangsaan.
Sesaat setelah bendera berlambang Keraton Yogyakarta dikibarkan di samping Sang Saka Merah Putih, lagu hip hop ”Jogja Istimewa” segera membawa keceriaan dan kesegaran. Panasnya terik matahari di halaman DPRD DIY pada Senin (13/12) tiba-tiba tak lagi terasa ketika para pengunjuk rasa mulai ikut berjingkrak-jingkrak.
”Jogja Jogja Jogja istimewa. Istimewa negerinya, istimewa orangnya. Jogja Jogja Jogja istimewa, Jogja istimewa untuk Indonesia…” Bersama dengan produser Jogja Istimewa Marzuki Mohammad, mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY GBPH Prabukusumo turut bergoyang di atas panggung di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta pendukung penetapan gubernur dan wakil gubernur.
Diiringi irama hip hop, para pendukung keistimewaan mengangkat spanduk dan menyerukan dukungan terhadap keistimewaan DIY. Sebagian pengunjuk rasa juga melengkapi diri dengan aneka atribut seperti kalung janur atau daun kelapa muda warna kuning. Janur dimaknakan sebagai sejatine nur menjadi simbol harapan datangnya secercah cahaya bagi keistimewaan DIY.
Bendera berlambang Keraton Yogyakarta sengaja dikibarkan karena keistimewaan DIY tak bisa dipisahkan dari eksistensi Keraton. Para abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman pun turut terlibat dalam pawai unjuk rasa dari Alun-alun Utara menuju Gedung DPRD DIY.
Dengan duduk lesehan di halaman DPRD DIY, mereka mencermati jalannya rapat paripurna tentang penentuan sikap politik fraksi-fraksi di DPRD DIY. Seorang peserta unjuk rasa sempat menjalani laku ndodok atau berjalan jongkok sepanjang perjalanan menuju DPRD DIY.
Menurut Marzuki, lagu ”Jogja Istimewa” sudah dirilis sejak satu bulan terakhir. Marzuki mengaku berinisiatif datang sendiri ke gedung DPRD DIY untuk menyumbang lagu. ”Sebagai warga Yogyakarta, saya bisanya cuma nge-rap. Saya sumbangkan lagu ini untuk perjuangan keistimewaaan DIY,” kata Marzuki.
Marzuki menyatakan, ”Sebenarnya 70 persen liriknya saya ambil dari kata-kata Sri Sultan HB X, Soekarno, Hatta, Sastrokartono, Ki Hajar Dewantara. Tiga puluh pesen lagi saya tulis sendiri. Alasannya, memang kata-kata mereka mengingatkan kita akan sejarah bergabungnya Ngayogyakarta Hadiningrat dengan RI. Lagu ini bagian dari album kompilasi yang saya produseri juga, melibatkan 10 band/artis/hip hop crew. Saya sudah menulisnya 4 bulan lalu, kemudian saya ajak teman-teman dari Jogja Hip Hop Foundation untuk nge-rap bareng, sebuah sikap bersama sebagai warga Jogja. Kami hanyalah bagian kecil dari peristiwa besar ini, tapi demikianlah, gerakan besar ada karena kebersamaan”
Marzuki sendiri tidak menyangka jika lagu hip hop itu didaulat sebagai lagu ”kebangsaan”. Baginya, keistimewaan DIY tetap harus dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia. Lagu ”Jogja Istimewa” ini sudah mulai akrab di telinga masyarakat Yogyakarta karena sering diputar di radio.
Usai menyanyikan lagu ”kebangsaan”, seniman ketoprak Marwoto Kawer turut berorasi. Marwoto menilai sikap pemerintah pusat terkait keistimewaan DIY bisa diibaratkan seperti dagelan ora pupuran atau pelawak tanpa bedak. ”Pernyataan-pernyataan Presiden lucu! Tidak pernah tegas terkait penetapan,” ujar Marwoto.
Selain harapan dukungan keistimewaan, masyarakat di sepanjang Jalan Malioboro menjadikan pawai unjuk rasa ini sebagai tontonan. Peserta pawai antara lain menyuguhkan tari-tarian tradisional. Masyarakat Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Yogyakarta menyuguhkan tarian likurai serta musik sasando.
Penari angguk dari Kulon Progo juga meramaikan pawai keistimewaan. Pertunjukan reog di Jalan Malioboro semakin menambah meriahnya suasana. Seluruh kemeriahan di tengah terik matahari ini demi satu tujuan, ditegakkannya keistimewaan DIY, bahwa Sultan harus ditetapkan sebagai gubernur dan Paku Alam wakilnya. (WKM/INU)



Perlawanan Hip Hop Centhini
Ono cicak nguntal boyo
Boyo coklat nyekel godo

Ojo seneng nguntal negoro

Mundak rakyatmu dadi sengsoro

DATANGLAH ke kampung-kampung di Yogya. Di sepanjang bantaran Kali Code atau Nitiprayan, tanyakan kepada anak-anak tentang lagu hip- hop yang menyumpah-serapahi Anggodo ini. Pasti mereka hafal.
“Bahasa Jawa punya potensi hip- hop. Suluk Jawa, yang penuh aliterasi, persamaan bunyi di akhir kalimat, cocok untuk rap.” Pendapat Elizabeth Nandiak, seorang perempuan Prancis peneliti Serat Centhini yang dahulu peneliti hip- hop dalam film dokumenter Hiphopdiningrat, dapat sedikit-banyak menjelaskan fenomena ini.
Inilah salah satu film paling bagus yang disajikan Jiffest 2010. Film ini bercerita tentang pengalaman Marzuki, pendiri Jogja Hip Hop Foundation, bersama teman-temannya memelopori rap berbahasa Jawa. Film ini bisa mengingatkan kita akan film Wim Wender: Buena Vista, yang mereportasekan jazz Kuba.
Sementara Wender memperlihatkan bagaimana jazz Kuba sesungguhnya mencerminkan penderitaan sosial Kuba, Marzuki, yang tersohor dengan nama samaran Kill The DJ atau The Cebolang, juga bisa memperlihatkan bagaimana gerakan hip-hop-nya memiliki akar kultural Yogya.
“Awal hip-hop Jawa adalah kelompok G Tribe. Hitnya adalah: Jelangkung dan Menek Jambe,” kata Marzuki. “Kemudian kelompok Jahanam pada 2003 yang melahirkan Tumini. Laku 20 ribu kopi di Yogya.”
Selama 65 menit, kita disuguhi perjalanan kelompok-kelompok hip-hop Jawa antara 2003 dan 2009, dari manggung di ajang lokal Angkringan Hip Hop sampai Poetry Battle di Taman Ismail Marzuki. Dan kemudian di Esplanade, Singapura. Marzuki menekankan lahirnya hip-hop Jawa bukan semacam eksperimen kontemporer yang disengaja tapi apa adanya, alamiah.
“Sederhana saja. Kami merasa lebih bebas bila nge-rap dalam bahasa Jawa,” ujar Marzuki. Ia mengaku tidak belajar gaya atau teknik rap ala Amerika. “Tidak pas di mulut.” Bahkan sering bahasa Indonesia, menurut Marzuki, kurang nyaman di-hip-hop-kan. Ia berpendapat ada bunyi-bunyi dalam bahasa Jawa yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa, misalnya, sering membuat bunyi sehari-hari menjadi kata. Bunyi orang membuka pintu mak regedeg…, misalnya, bisa jadi kata. Dalam bahasa Jawa juga sering sebuah kata tidak bermakna satu.
Apalagi tradisi suluk Jawa menyediakan irama-irama yang luar biasa. Marzuki rajin mengumpulkan kitab atau serat Jawa seperti Centhini, Gatholoco, Darmogandul, dan Babad Tanah Jawi. Dari situ ia belajar bunyi. Di rumahnya ia mengoleksi “serat aneh-aneh”. Dia pernah berkeliling Jawa. Di setiap kota ia menyambangi masjid, gereja, dan kelenteng untuk mencari babad setempat. “Di Ponorogo, misalnya, di sebuah kelenteng saya menemukan babad Ponorogo versi Cina,” katanya. Berbagai babad itu menginformasikan bahwa pembentukan Jawa itu sesungguhnya sangat pluralis.
Adapun bagian Centhini yang kerap di-hip-hop-kan adalah ketika tokoh-tokoh secara khusus menembang. Tatkala Among Raga bersanggama, agar Gusti Allah hadir dalam persetubuhan, ia menembang. Sewaktu Cebolang mengembara, setiap diundang siapa saja ia menembang. “Semua tembang di Centhini, baik yang religi maupun yang erotik, saya kumpulkan,” kata Marzuki.
Menurut Marzuki, khazanah Jawa juga banyak memiliki mantra, dari mantra menidurkan orang, mantra memelet perempuan, sampai mantra anak hilang yang dicuri wewe gombel. “Semua itu, menurut saya, mengandung unsur rap,” katanya.
Yang membuat film ini tak membosankan adalah banyaknya footage pertunjukan yang disajikan. Para penyanyi rap Jawa yang diwawancarai juga lucu. Obrolan mereka jujur dan tak dibuat-buat. Kita bisa tersenyum, misalnya, manakala menyaksikan adegan bagaimana awak komunitas rap Jahanam dan anggota kelompok Hip Hop Rotra membeli pakaian bekas dan batik yang murah meriah di Pasar Beringharjo untuk keperluan pentas.
***
Elizabeth bahkan melihat gerakan Marzuki bersama Jogja Hip-Hop Foundation persis seperti yang dilakukan orang-orang Bronx. Hip hop Yogya berjuang untuk bahasa Jawa yang dimarginalkan negara karena diganti bahasa Indonesia. Kesamaan lainnya dengan Bronx, seiring dengan tumbuhnya hip-hop Jawa, subur pula seni mural di Yogya.
Mengamati gerakan Marzuki, ingatan Elizabeth melayang ke tahun 1981, ketika dirinya berusia 19 tahun dikirim Actuel-majalah musik terkemuka di Prancis-ke New York. Ia ditugasi melihat perkembangan musik dan sosial setelah gerakan antirasial yang dipimpin muslim Afro-Amerika, Malcolm X., dan gerakan Black Panther.
Elizabeth ingat ia berjumpa dengan Fab 5 Freddy, lelaki kulit hitam yang menciptakan lagu buat Blondie, penyanyi cewek kulit putih yang populer saat itu. Keduanya menciptakan klip video Rapture, yang merupakan karya kolaborasi kulit hitam dan kulit putih pertama di Amerika. Karya itu merupakan hit paling melegenda dalam sejarah musik hip-hop, menjadi tonggak rekonsiliasi masyarakat yang terbelah. “Rapture adalah jembatan kulit putih dan hitam,” tutur Elizabeth kepada Tempo.
Masih segar dalam kenangan Elizabeth bagaimana Freddy mengajaknya ke jantung Bronx. Dinding Kota Bronx tak ada yang luput dari goresan kuas dan cat semprot warna-warni. Mereka menyeberang sungai, menuju bangunan kumuh penuh orang menceracau: menyanyi seperti membaca mantra. Tak ada alat musik apa pun. Mereka menabuh kaleng dan senjata, mulut mereka komat-kamit, sumpah-serapah. “Itulah cikal bakal hip-hop.”
Elizabeth juga bertemu Afrika Bambata, salah satu god father penyanyi rap di Bronx. Di kawasan kelam penuh kekerasan, perang antargeng, dan perang narkoba itu, Bambata disegani para jawara kriminal.
Menjelang 1990, Elizabeth berkunjung ke Indonesia. Ketika berjalan-jalan di Solo, ia melewati pergelaran wayang kulit: kakinya terpaku. Ia seperti terhipnotis, mendengar suluk sang dalang. “Saya seperti terlempar ke sudut Kota Bronx. Itu benar-benar hip-hop,” kata Elizabeth kepada Tempo.
Sejak saat itu Elizabeth seolah tak berdaya untuk meninggalkan tanah Jawa. Ia kemudian memilih Yogyakarta sebagai tempat bermukim, tempat dia berkenalan dengan Serat Centhini dan membuat adaptasi dalam buku berjudul Centhini-Les chants de l’ile a dormir debout. Ia banyak membantu Marzuki memilih bagian mana dari tembang Centhini yang enak di-hip-hop-kan.
***
Adanya akar kultural dan sosial itulah yang agaknya juga menggerakkan hati rohaniwan Sindhunata,SJ, secara khusus menciptakan lirik-lirik Jawa untuk di-rap-kan Marzuki dan kawan-kawan. Lirik-lirik Romo berupa karangan sendiri dan syair-syair tradisional Jawa yang dihadirkan kembali oleh Romo.
Bagian yang paling mengesankan dari film adalah saat menyaksikan bagaimana saat para rapper Jawa ini manggung di kampung-kampung dan pesta perkawinan, para penonton tua- muda berebutan menyanyikan salah satu puisi garapan Romo Sindhu, Suro Gambleh. Pring-pring petung, Anjang-anjang peli buntung, Ojo menggok ojo noleh, Ono turuk gomblah-gambleh.
“Itu sesungguhnya tembang tolak bala, meredam berahi,” kata Marzuki. Menurut Marzuki,-sampai sekarang lagu ini ditolak di radio-radio karena agak erotis. Namun lagu ini dikampung-kampung Yogya sangat terkenal dan banyak yang hafal.
Tembang ciptaan Romo Sindhu lain yang berbau sosial seperti Ngelmu Pring, Ora Cucul Ora Ngebul juga sekarang dikenal luas. Ada lirik Romo Sindhu yang isinya menyindir kehidupan perupa Yogya yang kini demikian kaya raya. Judulnya Jula-juli Lolipop. Jula-juli adalah tembang dari tradisi ludruk Jawa Timur. Tembang ini kini juga sangat dikenal luas di kampung-kampung Yogya.
Ngemut permen, permen Lolipop, bunder tur gepheng, kepengin beken, kepengin dadi ngetop, karyane laris, senine mati.
Sementara di kota lain rap sepenuhnya urban, di Yogyakarta rap menjadi senyawa antara global dan lokal. “Hip- hop Jawa menyajikan bagaimana Jawa yang membuka diri terhadap pergaulan dunia, tapi juga Jawa yang memberi.” Kalimat budayawan Landung Simatupang dalam film itu terasa tepat.
Jawa dalam sejarah ibarat spons besar. Ia menyerap tradisi-tradisi agama besar dunia dan menjadikan tradisi itu berbeda dengan tanah asalnya. Demikian juga hip-hop di Yogyakarta. Keunikan hip-hop Jawa itu diakui misalnya oleh pionir hip-hop di Indonesia: Iwa K. “Di Yogya, hip-hop tumbuh dengan benih sendiri,” katanya.
Undangan ke Esplanade, Singapura, adalah bentuk apresiasi orang luar atas keunikan itu. Pada Januari 2011 Jogja Hip Hop Foundation mendapat kesempatan manggung di New York dan San Francisco, Amerika Serikat. “Di New York kami akan pentas di Asia Society dan di San Francisco di kompleks seni Yerba Buena,” kata Marzuki.

Gugur Gunung
Konser Amal dari Jogja untuk Indonesia
Laporan oleh: Kill The DJ


Ayo kanca-kanca ngayahi karyaning praja
Kene, kene, gugur gunung tandang gawe
Sayuk rukun bebarengan ro kancane
Lila lan legawa kanggo mulyaning Negara
Siji (loro) telu (papat) maju papat papat
Diulung-ulungake mesthi enggal rampunge
Holobis kuntul baris, holobis kuntul baris

(tembang Gugur Gunung)
Pada tanggal 26 Oktober 2010, pukul 17:42, gunung Merapi, salah satu simbol spiritual bagi kraton dan rakyat Yogyakarta, kembali mengalami erupsi, memuntahkan awan material panas disertai wedhus gembel (awan panas) yang merenggut nyawa 15 orang, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, sosok yang menjadi panutan bagi rakyat Jogja dalam kesederhanaan, pengabdian, dan tanggung jawab.
Sontak Jogja berduka, puluhan ribu penduduk lereng Merapi meninggalkan desanya menjadi pengungsi, dan masih akan bertambah lebih banyak lagi jumlah pengungsi dan korbannya seiring dengan zona aman yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yang hingga saat ini mencapai radius 20 kilometer dari puncak Merapi.
Tapi disitulah keistimewaan Jogja kembali diuji. Seperti ungkapan Bung Karno “Jogja istimewa bukan hanya daerahnya, tapi juga orang-orangnya yang rela berkorban untuk republik”, warga dari berbagai unsur masyarakat bahu-membahu untuk menolong para pengungsi dan korban. Meminjam istilah Jawa; ‘ora sanak ora kadang, yen mati melu kelangan’ (bukan sanak saudara, ketika mati, kita ikut kehilangan), para pengungsi diibaratkan sebagai ‘tamu’ yang harus dilayani, mulai dari gerakan nasi bungkus hingga membuka rumah mereka untuk menampung para pengungsi.
Semangat gotong royong begitu kental, tidak memandang status sosial dan agama. Partisipasi warga yang guyub-rukun dan bahu-membahu untuk menyelesaikan persoalan sepert ini, dalam istilah Jawa disebut dengan ‘gugur gunung’. Istilah inilah yang kemudian digunakan sebagai judul sebuah acara konser amal; sebuah undangan terbuka bagi seluruh insan musik di kota Jogja untuk terlibat dan mencoba memberi sumbangan kepada para korban dan pengungsi. Disepkati juga bahwa hasil dari konser amal Gugur Gunung tersebut akan disumbangkan bukan hanya untuk korban dan pengungsi Merapi, tapi juga untuk korban bencana tsunami di Mentawai, dan banjir di Wasior.
Acara konser Gugur Gunung mungkin tergolong aneh, karena diadakan di kota yang justru sedang dilanda bencana. Tapi hal seperti ini adalah dinamika tipikal kota Jogja, mirip dengan gempa bumi tahun 2006, dalam situasi bagaimana pun, kehidupan diupayakan untuk tetap normal oleh warga, aktivitas ekonomi tetap dijalankan, acara-acara kesenian, pameran, konser, tetap dilangsungkan. Mungkin hanya acara-acara yang dikerjakan oleh pihak dari luar Jogja yang kemudian dibatalkan.
Gugur Gunung hanya dipersiapkan dua hari, Erick Soekamti, front man band punk asal Jogja, Endank Soekamti, menjadi komandan untuk Gugur Gunung, sementara saya, Kill the DJ, founder Jogja Hip Hop Foundation, menjadi juru bicara dari gerakan ini, dibantu rekan-rekan dari event organizer dan para musisi yang lain, akhirnya acara pun berjalan selama tiga hari, 29 s/d 31 Oktober 2010.
Konser pertama, 29 Oktober, di lapangan Lembah UGM, mendapat ujian besar, ditengah acara hujan besar tanpa henti ketika baru empat band manggung dari 24 band yang direncanakan. Begitu pula acara hari kedua, 30 Oktober, di tempat yang sama, ujian kembali datang, kali ini bukan hujan air, tapi hujan abu vulkanik yang melanda wilayah Jogja dan sekitarnya pada malam sebelumnya, acara outdoor menjadi kurang diminati. Alhasil dari dua hari konser, yang melibatkan 48 band ini, hanya mampu mengumpulkan donasi kurang lebih 4 juta rupiah.
Tapi seluruh team Gugur Gunung tidak menyerah, masih ada hari ketiga yang diplot menjadi andalan acara konser amal ini. Di hari ketiga ini line up yang diplot adalah band-band dengan nama besar yang mempunyai fans base kuat di kota Jogja, seperti; ShaggyDog, Endank Soekamti, Sheila on 7, Letto, SKJ 94, Jogja Hip Hop Foundation, dan masih banyak lagi. Juga, pada acara ketiga yang digelar di Liquid Next Generation Club tersebut, diadakan lelang barang-barang milik artis yang disumbangkan, antara lain; Topi milik Anji Drive, Gitar milik Eet Syahrani, Microphone milik Tantri Kotak, dan masih banyak lagi.
Penampil demi penampil manggung, lelang demi lelang terjual, dipandu oleh MC Lokal Anang Batas, Gepenk Kesana-Kesini, Alit Jabang Bayi, dan Kunchunk, acara berlangsung penuh guyon, kocak, dan meriah khas dagelan Mataram, seperti tidak ada beban bahwa Merapi sedang bergejolak diujung kota.
Acara malam itu berhasil mengumpulkan donasi sebesar 40-an juta rupiah yang dihasilkan dari penjualan tiket dan lelang. Setelah dikumpulkan dengan donasi dari konser hari pertama dan kedua, juga lelang yang berlangsung hingga seminggu setelah acara, total Gugur Gunung berhasil menghimpun dana 50-an juta rupiah. Sesuai dengan kesepakatan awal, yang kemudian menjadi subtitle acara ini, ‘dari Jogja untuk Indonesia’, hasil ini akan dibagi untuk sumbangan bencana Merapi, Mentawai, dan Wasior.
Khusus untuk Merapi, rencana awalnya, uang tersebut akan digunakan untuk membangun ulang rumah gamelan di dusun Kinahrejo yang hancur diterjang material panas. Jika ada kekurangan uang akan ditambah dengan dana yang berhasil dikumpulkan oleh United of Nothing, sebuah komunitas tanggap bencana di Jogja yang saya dirikan sejak 2004. Cita-citanya rumah tersebut akan diberi nama Omah Gugur Gunung, sebagai monumen untuk mengenang semangat gotong royong dan pantang menyerah dari seluruh warga Yogyakarta dan sekitarnya dalam menghadapi bencana.
Yogyakarta, 5 November 2010







Mohammad Marzuki bisa dikatakan sebagai inspirator bagi musisi hip-hop, terutama di Yogyakarta. Tiga tahun sebelum Jogja Hip Hop Foundation berdiri, dia sudah merambah luar negeri. Setelah itu, bersama Jogja Hip Hop Foundation, tahun lalu mereka tampil di Singapura.
Tahun 2010 ini, rencananya mereka bakal bermain di New York dan San Fransisco, Amerika Serikat. Undangan yang datang dari Singapura dan Amerika Serikat itu menjadi salah satu ukuran bahwa musisi hip-hop jawa diperhitungkan. Meskipun, menurut Juki atau Zuki, panggilan Mohammad Marzuki, untuk mencapainya diperlukan proses panjang dan kemampuan negosiasi yang mumpuni.
Tahun 2003, Juki mendirikan Jogja Hip Hop Foundation. Wadah yang diistilahkan sebagai ”ruang tanpa tembok” itu menjadi kendaraannya. Dari Jogja Hip Hop Foundation tersebut, setidaknya telah ditetaskan dua album bertitel Poetry Battle pada tahun 2007 dan 2008.
Album kompilasi sejumlah musisi hip-hop itu dicetak masing-masing ribuan keping CD dan ludes dalam hitungan bulan. Potensi hip-hop kemudian semakin terlihat. Maka, tidak mengherankan jika publik lalu menanti-nanti dirilisnya Poetry Battle yang ketiga.
Namun, harapan publik itu tampaknya tidak bakal terwujud. ”Aku enggak akan membuat Poetry Battle lagi kok. Aku ingin membuat yang baru saja dan tidak akan aku kasih judul Poetry Battle,” kata Juki, anak keempat dari lima bersaudara keluarga H Soepartijo ini.
Juki rupanya ingin lebih dulu mewujudkan impiannya yang lain. Dia tengah menggarap dan akan segera meluncurkan film dokumenter bertajuk Hip Hop Diningrat. Ini merupakan sebuah film yang memotret perjalanan hip-hop dengan aliran jawa.
Bagaimanapun, Juki telah memberi jalan pada komunitas hip hop Yogyakarta untuk berkiprah. Lewat Poetry Battle dia telah memberikan ”kunci” bagi anak- anak hip-hop untuk bertemu siapa saja di luar jalur musik mainstream.
Ia juga aktif membantu anak-anak hip-hop kala mereka membuat rekaman album. Di samping itu, dia juga bakal membuat album rekaman yang lain. Kali ini Juki berkolaborasi dengan Soimah, pesinden yang namanya meroket sampai Jakarta.
Album itu berjudul Semiotika Pantura. Tidak hanya bergerak dalam dunia musik, Juki pun berusaha mendapatkan penghasilan dari usaha distro Whatever Shop di Yogyakarta. Sebab, sebagian dari pendapatan toko itu menjadi ”tiket” bagi sebagian anak-anak di pinggir Kali Code, Yogyakarta, untuk tetap bersekolah.
Gelisah
Sebenarnya hip-hop bukanlah aliran musik pertama yang dipilih Juki. Lelaki yang tidak lulus Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta itu sebelumnya banyak berteman dengan para seniman jalanan. Lewat cara semacam magang itulah dia, antara lain, belajar seni grafis dan teater.
Di dunia hip-hop, Juki dikenal dengan nama panggung Kill The DJ. Nama itu baru dipakainya tahun 2001. Alasannya, ketika itu dia melihat sebagian kaum muda mendewakan rave party (pesta semalam suntuk dengan elektronik musik yang dimainkan para DJ).
”Mereka terlalu menyanjung DJ-nya,” kata Juki yang lalu ingin ”menjungkirkan” anggapan tersebut lewat namanya, Kill The DJ. Terkadang dia menggunakan nama Chebolang, terutama untuk garapan desain grafisnya. Ini merupakan sosok kontroversial dalam kitab berbahasa Jawa, Serat Centhini, yang selalu gelisah mencari jati diri.
Juki tampaknya merasa kegelisahan seperti dialami Chebolang juga menimpa dirinya. Juki mencontohkan, saat mendengar rekaman telepon Anggodo Widjojo dengan beberapa orang yang diputar dalam sidang Mahkamah Konstitusi, dia merasa harus menyalurkan kegelisahannya. Maka muncullah lagu Cecak Nguntal Boyo, yang dia nyanyikan saat ikut berunjuk rasa di Jakarta.
Lagu itu lalu dia daftarkan menjadi ring back tone (RBT). Dari lima provider yang ditawarinya, dua di antaranya menerima Cecak Nguntal Boyo untuk RBT dan hasilnya menjadi dana kampanye antikorupsi.
Bahasa ibu
Meski hip-hop jawa relatif tak mendatangkan keuntungan materi besar, Juki tetap menekuninya. Untuk mempertahankan keberadaan hip-hop jawa, 40 kitab berbahasa Jawa koleksinya menjadi sumber inspirasi bagi Juki yang tak ada habisnya.
”Menghidupkan bahasa ibu (bahasa Jawa) itu bentuk pertanggungjawaban. Kalau puisi jawa cuma tersimpan dalam lembaran kitab, dia akan berjarak dengan publik. Saya ingin menjadikannya sebagai milik publik,” kata Juki yang tampil dengan hip-hop jawa dalam Urbanfest 2007 di Ancol, Jakarta.
Juki bercerita, dia tertarik pada kitab berbahasa Jawa justru ketika berada di Perancis untuk mendalami musik elektronik pada 2000. ”Mungkin karena saya berada di luar negeri, jadi ada jarak dengan tanah kelahiran maka bahasa dan budaya Jawa menjadi hal penting. Saya malu, ternyata saya tidak tahu apa-apa tentang budaya dan bahasa ibu sendiri,” ujar pria yang dibesarkan di lingkungan pesantren karena sang ayah seorang ustaz.
Dia semakin merasa prihatin ketika mengetahui bahwa bahasa Jawa termasuk yang paling tidak diminati kaum muda. Kondisi ini yang membuat Juki berupaya menjadi ”jembatan” antara kaum muda dengan puisi jawa. Dia menggunakan hip-hop sebagai medianya.
Tidak hanya hip-hop dan distro sebagai fashion kaum muda sebagai pendukung yang dia tekuni, Juki juga berusaha membangkitkan kreativitas kaum muda lewat berbagai festival.
Di Yogyakarta, bekerja sama dengan perupa Jompet dan beberapa seniman lain, dia membentuk ”Performance Fucktory” pada tahun 1990-an. Ini merupakan kegiatan yang menampilkan seni multimedia dengan mengelaborasi panggung musik elektronik, video, dan gerak tubuh.
Lewat ”Performace Fucktory” tersebut, Juki dan kawan-kawan sering kali menggelar pertunjukan seni multimedia di berbagai tempat, baik di Yogyakarta maupun Bandung dan Jakarta. Selain itu, Juki juga menjadi ”motor” kegiatan ”Parkinsound”, yang diikuti rata-rata puluhan band, dengan pengunjung sekitar 4.000 orang.
Ini merupakan festival musik elektronik yang berlangsung di Yogyakarta setiap tahun, mulai 1998 sampai 2004.
MOHAMMAD MARZUKI
Lahir: Klaten, Jawa Tengah, 21 Februari 1975
• Orangtua: H Soepartijo dan Siti Sapariyah
• Istri: Grase Samboh, menikah tahun 2009
• Pendidikan:
- Madrasah Tsanawiyah Prambanan, Klaten, Jawa Tengah
- Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta (tidak lulus, sampai kelas III)








1 komentar: